Minggu, 11 Desember 2011

Sahabat di Suatu Shubuh

Tak pernah letih aku memohon pada Allah agar tak putus Rahmat-Nya kepadaku. Mataku masih belum bisa terpejam, sementara lampu kamarku masih terang mengisi sisi sederhana rumah yang mencatat sejarahku ini. Terdengar jelas tik-tok jam dinding, seperti ingin mengingatkan; kalau detiknya tak pernah berhenti ataupun berjalan mundur, dan malam semakin larut dalam sunyinya yang anggun. Aku masih terjaga sendiri, menikmati debar yang semakin betah dan asyik mengusik jantungku. Aku sangat mengaguminya. Semoga tidak hanya sekedar menjadi kagum tanpa tujuan.
“Ya Rabb.. aku jatuh cinta”desahku pelan sembari merebahkan tubuhku ke ranjang. Aku takut, jika cinta ini tidak datang dari Allah. Aku takut salah berprasangka pada perasaanku. Aku takut. Tapi, aku tak sanggup mengartikan degub yang tak kunjung reda mengisi jantungku. Apa ini cinta? Apa benar ini cinta yang sesungguhnya? Bagaimana bisa. Ketika menundukan pandanganku, aku bisa menatap matanya yang membuatku tak bisa berkata apa-apa. bagaimana bisa aku jatuh cinta. Padahal aku menulikan pendengaranku ketika ia berkata. Bagaimana aku bisa? Rasa ini benar-benar menyita waktuku. Aku tak bisa memendamnya begitu saja. aku takut jika harus mengatakan kepadanya, sampai akhirnya ia menyadarinya dan bertanya secara terbuka padaku. apa aku punya alasan untuk berbohong tentang sebuah perasaan. Meskipun, aku tak punya nyali untuk mengetahui perasaannya padaku. Tapi, hari ini, dia mengatakan hal yang tak pernah aku fikirkan sebelumnya. Aku masih saja ragu mengingat kata-katanya yang sungguh menyejukkan. Ketika ia mengungkapkan inginnya untuk berta’aruf denganku, lembut tutur katanya seperti gerimis yang menghapus kemarau dalam hatiku. Mengairi pekarangan yang hampir saja layu. Dan aku sangat bahagia. Lalu atas alasan apa aku ragu? Aku mencari-cari jawabannya, dan kenangan masa lalu seperti berdesak-desakan dalam memori, antre ingin lekas mendapat giliran untuk ku ingat. Rasanya baru kemarin aku di khianati, masih membekas luka dalam hati. Rasanya baru kemarin dia meninggalkanku tanpa salam, tanpa kata putus dan dengan mudahnya dia tertawa dengan wanita lain di depan tangisku yang menggenang. Aku sendiri sibuk dengan kehidupan yang penuh kekecewaan. Dua tahun aku telah berusaha melupakan semua itu, tapi hasilnya nihil.
Aku terisak dalam pelukan hening dan sepi, bayang-bayang masa lalu mentertawaiku, memaksaku mengingat-ingat kembali bagaimana dulu aku memiliki seorang pacar. Hidup jauh dari islamku, dan terasing dari agamaku sendiri. Lima belas tahun sudah usiaku tersia-siakan, aku lupa tujuan hidupku sebagai hamba. Betapa tak bergunanya aku. Dan usiaku kini sudah tujuh belas tahun, tujuh belas yang tak utuh, tujuh belas yang masih belum bisa dewasa. Baru dua tahun terakhir ini aku berusaha merubah semuanya. Dan hari ini, ada pemuda yang tanpa ku undang, telah masuk dalam kehidupanku yang masih merangkak menuju-Nya, pemuda yang telah mencuri sesuatu dalam diriku tanpa ia sadari. Pemuda yang sholeh, berpendidikan, dan bertanggung jawab tentunya. Lalu aku siapa? Aku hanya wanita Fasik yang baru saja berusaha meninggalkan masa jahiliyahnya. Baru saja?! Dan seorang pemuda Sholeh mengajakku berta’aruf setelah aku mengungkapkan kegelisahanku kepadanya. Pantaskah aku? Aku malu. Kasihan sekali ia jika mendapatkan wanita sehina aku. Sedikit demi sedikit pandanganku mulai meredup. Shochieb, ku sebut namamu dengan gejolak yang tak bisa reda. Mataku terpejam. Aku terlelap berselimut galau, bimbang dan gelisah.
Fajar shodiq membangunkanku dari pergulatan mimpi yang indah. pagi seperti apa lagi yang Allah siapkan untukku yang kerdil ini. Dan aku siap menjalani ketetapan yang Allah berikan, Apapun itu. Bismillah. Aku memulai pagiku dengan sujud dan syukur. Kemudian beraktifitas seperti biasa. Membersihkan rumah, dan berangkat menimba ilmu. Dan  Aku masih tetap sibuk dengan perasaanku.
“hari ini kamu terlihat aneh Rum?”tanya teman sebangkuku, Widya. Aku tak menyahut. “kamu sakit Rum?” Tanyanya memastikan. “Arum?!kamu melamun?”ucapnya sambil menepuk pundakku dengan keras. aku meringis kesakitan.
“Wid, apa-apaan sich?” tanyaku.
“di tanya malah nglamun”  jawabnya jutek.
“iya. Iya aku minta maaf. Ndak Fokus. Kecapekan mungkin! Jadi agak-agak blank” ucapku sekenanya.
“kalau bisa, masalah pribadi itu, jangan sampai dibawa ke sekolah. Simpan aja di laci kamar kan bisa?!” ledek Widya seperti tahu apa yang aku fikirkan. “aku kenal kamu bukan sehari dua hari, Arum. Aku kenal kamu sudah tiga tahun. Tiga tahun kita satu kelas. Apalagi dua tahun ini kita satu bangku” ucap Widya menegaskan kalimat terakhir.
“sok tahu kamu Wid! Lagian kalau teman ada masalah itu, baiknya di bantu. Nah, yang ini malah di ledekin” balasku meledek.
“aku sich ndak ada waktu buat ikut campur urusan orang., yang jelas. Aku Cuma mau ingatkan. Orang yang baik itu bukan orang yang tidak pernah melakukan kesalahan. Tapi orang yang bisa belajar memperbaiki kesalahannya. Gitu?!” Ucapnya sambil nggeloyor keluar kelas.
“mau kemana Wid?” tanyaku, tanpa jawaban. Ku susul keluar kelas. Widya sudah berjalan menuju kantin. Aku menghela nafas panjang sambil merenungi kata-kata Widya. Tapi, aku sadar betul kalau pemuda ini tiada punya kekurangan yang berarti bagiku. Dan aku sungguh tak bisa membohongi decak kagumku akan sikapnya. “selamat tinggal masa lalu, selamat datang masa depan..” ucapku tegas dalam hati.
Shohieb, begitu namanya selalu ku sebut dalam do’a. hari mulai menyenja. aku masih sibuk mengharakati kata yang ia ucapkan via telfon kemarin sore.
“saya berharap sepenuhnya sama sampean. Kalau cinta saampean ke saya bukan karena sampean cinta sama saya. tapi, karena cinta sampean pada Allah. Dan saya berharap cinta sampean bukan cinta biasa tanpa tujuan ke hubungan yang lebih serius yaitu Mitsaqan Ghalizah. Tapi, sebaiknya kita jangan terlalu banyak berharap. Karena kita ndak tahu siapa jodoh kita kelak.” Betapa lembutnya kalimat itu yang kemudian menyentuh senar-senar jiwa. Yang akhirnya menjadikan getar memantulkan irama tanpa nada. Senyap tapi penuh makna.  diam yang membuahkan bahagia dalam jiwa. Meskipun jarang berkomunikasi, tapi ada keyakinan penuh dalam jiwa, karena sadar bahwa Allah telah menyiapkan hal terindah ketika waktunya. Telah menyiapkan yang terbaik bagi hamba-Nya. Seperti yang dikatakan penyair arab “Zurghiban tasydad hubban”. Maka, lengkap  sudah hidupku, ada yang menanam bunga dalam pekarangan hatiku. Dan merawat bunga cinta itu setiap harinya. Meskipun teka-teki itu masih belum bisa terpecahkan. Sekarang ataupun nanti, Aku masih menundukkan pandangan dan menjaga hatiku lengkap dengan taman yang ia sirami setiap hari. Aku berserah diri pada Allah, pemilik cinta yang hakiki. Seperti Shubuh yang membasuh malam dengan cahaya. Aku menatap dirinya lekat-lekat dalam hatiku. Dia menjadi Shubuh yang menghapus malamku yang kelam. Meskipun aku masih  Menanti kapan ia akan datang memetik bunga-bunganya untuk menghias keranjangku yang penuh rindu. Semua akan indah ketika waktunya.

BUAH KARYA :
NINGRUM
telah dipublikasikan SAKINAH MAGAZINE
24 January 2011
IMG0581A.jpg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar